Menangkap Makna Keberpihakan Uskup Budi Kleden
Uskup Budi Kleden berpihak pada umatnya yang menjadi korban proyek geotermal.
Di tengah perayaan Natal 2024, Uskup Keuskupan Agung Ende Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD menyampaikan sebuah sikap yang tegas: menolak proyek geotermal di wilayah keuskupannya. Penolakan tersebut dilandaskan pada amatan dan analisis sosio-ekologis yang terjadi di masyarakat yang terpapar semburan panas bumi tersebut.
“Saya telah mendengar kesaksian dari sejumlah orang di Sokoria dan Mataloko, serta berdiskusi dengan imam-imam di wilayah ini. Berdasarkan hal itu, saya menentukan sikap untuk menolak proyek geotermal di beberapa titik yang telah diidentifikasi di ketiga kevikepan kita…,” terang Uskup Budi Kleden.
Sikap tegas Uskup Budi Kleden ini menyatakan satu hal penting: Gereja lokal yang dipimpinnya tidak absen dari problem sosial yang dihadapi masyarakat yang notabene adalah umatnya juga. Sikap tegas itu serentak memperlihatkan pilihan moral politik yang berpihak kepada kaum lemah dan terpinggirkan (preferential option for the poor) yang merupakan saripati Ajaran Sosial Gereja.
Sentire cum mundo
Selama ini kita, terutama warga Gereja, sering dianjurkan untuk serasa-sepemahaman dengan Bunda Gereja (sentire cum Ecclesia). Kita dituntut untuk sebisa mungkin hidup sesuai dengan ajaran dan anjuran Gereja, setia kepada magisterium dan tradisi Gereja di seluruh bidang kehidupan.
Melalui pernyataan sikap yang menolak geotermal tersebut, Uskup Budi Kleden hendak mengajak kita semua, hierarki maupun umat, untuk turut merasakan-memahami problem sosial yang tengah dialami oleh umat manusia (sentire cum mundo). Merasakan serentak menuntut tanggung jawab kita untuk ikut ambil bagian di dalamnya untuk memberdayakan dan membebaskan.
Uskup Budi Kleden memperlihatkan kepada kita bahwa sebagai gembala ia telah menentukan sikap yang semestinya, yaitu berada bersama dengan para dombanya, mereka yang sedang menderita, mereka yang suaranya dibungkam oleh aliansi pengusaha-penguasa.
Di samping itu, sikap Uskup Budi Kleden itu hendak mengantisipasi kritik tajam yang menghantam Gereja akibat mentalitas borjuis kaum klerus, yang menyumbang pada dekadensi moral dalam tubuh Bunda Gereja.
“Bahaya tengah mengancam Gereja, ketika para gembala mencaplok gaya hidup kaum elit, di mana orang miskin adalah korbannya. Sejarah Gereja telah mencatat berulang kali, kemerosotan dalam Gereja terjadi ketika para pemimpinnya memburu harta, dan bukan mengupayakan dengan susah payah demi keselamatan jiwa-jiwa gembalaan mereka” (Eddy Kristiyanto: 2008).
Uskup Budi Kleden adalah gembala yang berbau domba, ia mengenal domba-dombanya dan kepada mereka ia senantiasa memihak. Ini adalah suatu pilihan moral yang jelas, tidak abu-abu, yang berasal dari suatu ungkapan iman yang hidup dan berdampak. Baginya, melihat dan memihak mereka yang menjadi korban dari proyek panas bumi yang merusak ekologi itu adalah suatu ciri khas dari sikap seorang Kristiani yang jujur dan bajik yang tidak bisa lain kecuali turut menyuarakan apa yang menjadi keprihatinan kaum tertindas itu.
“Seorang Kristen yang merasa menjunjung tinggi cinta kasih sebagai kebajikan tertinggi, tetapi tidak bertindak apapun di hadapan kekerasan politik dan pelanggaran HAM terhadap sesama warga negara de facto telah melanggar cinta kasih yang dimuliakannya” (Ignas Kleden: 2008).
Oleh karena itu, menyuarakan setiap bentuk pelanggaran martabat manusia tidak saja merupakan sikap jujur, tetapi juga suatu tanggung jawab moral seorang Kristiani sebagai pribadi yang didorong oleh cinta kasih di dalam hidup bermasyarakat.
Compassio sebagai landasan keberpihakan
Keberpihakan Uskup Budi Kleden terhadap para korban proyek panas bumi yang merusak ekologi dan ekosistem hidup masyarakat Sokoria dan Mataloko itu merupakan suatu compassio. Compassio di sini bukan sebuah perasaan iba yang muncul dari fakultas emosional manusia, tetapi sebuah “kewajiban untuk terbuka dan menangkap penderitaan orang lain, sebuah gerakan aktif terhadap apa yang sedang diderita orang lain” (Budi Kleden: 2013a).
Melalui compassio, kita tidak sekadar melihat penderitaan orang lain sebagai cermin untuk menatap pengalaman negatif yang pernah kita alami di masa silam, tetapi melahirkan suatu tanggung jawab untuk berempati terhadap mereka yang sedang menderita.
Empati itu tidak berhenti pada diri kita yang tengah menyaksikan pengalaman negatif tertentu, tetapi menggerakkan kita untuk berani masuk dan terlibat bersama para korban dalam perjuangan mereka untuk keluar dari belitan penderitaan tersebut. Persis di sinilah standing position Uskup Budi Kleden.
Ia hadir di tengah para penduduk desa yang meratapi kehancuran pelan-pelan desa mereka akibat proyek geotermal yang bablas. Tidak sekedar hadir, ia turut menyuarakan apa yang menjadi aspirasi mereka, menjadi penyambung lidah mereka yang nyaris tak bisa bersuara (voice of the voiceless) di hadapan para stakeholders.
Di sini jelas dengan sendirinya bahwa Uskup Budi Kleden tidak sedang berebut kekuasaan politik atau mencari celah untuk masuk ke dalam palung politik praktis. Tetapi, dengan terlibat aktif ia ikut mengawasi penyelenggaraan kekuasaan itu karena kekuasaan politik selalu menyangkut nasib, kepentingan, dan keselamatan orang banyak, menyangkut kebaikan bersama (bonum commune).
“Suatu agama barulah memenuhi tanggung jawabanya kalau agama itu—atas cara yang dibenarkan untuk dirinya—melibatkan diri di dalam dunia dan secara khusus mengambil sikap terhadap kejadian-kejadian di dalam dunia” (Ignas Kleden: 2008).
Dengan lain perkataan, masalah sosial yang melilit umat manusia, kemiskinan, atau lebih tepatnya pemiskinan secara struktural, mesti menjadi landasan keberadaan Gereja dan basis dari teologi ketika merefleksikan dirinya secara kritis (James Nickoloff: 1993). Dengan menjadikan problem sosial sebagai landasan refleksi teologis, akan tampak solidaritas yang memicu keterlibatan Gereja di dalam pergumulan sosial tersebut.
“Solidaritas,” demikian Budi Kleden, “adalah bagian dari ciri Gereja, karena dia berada di dalam dunia. Solidaritas merupakan ungkapan bahwa Gereja ada di tengah dunia, dipengaruhi oleh dunia, dan turut mempengaruhi dunia. Gereja memasang pundaknya untuk turut memikul tanggung jawab bagi dunia serentak ikut menjadi korban dari konspirasi kekuasaan dunia” (Budi Kleden: 2013b).
Sikap Uskup Budi Kleden ini memperlihatkan dengan jelas kelindan antara seorang teolog yang belajar teologi dengan problem sosial sebagai locus berteologi. Basis teologi tidak lain adalah antropologi dengan segala keruwetan dan kemungkinannya. Keduanya adalah lembaga yang bersifat otonom, atas dasar yang berbeda, tetapi melayani panggilan yang pribadi dan sosial orang yang sama (Eddy Kristiyanto: 2008).
Uskup Budi Kleden dengan demikian memperlihatkan Gereja yang terlibat dan bertanggung jawab atas persoalan sosial yang terjadi di wilayah kegembalaannya. Tanggung jawab itu serentak memperlihatkan Gereja bukanlah Gereja yang berwatak borjuis, tetapi Gereja yang mesianis, Gereja yang menyelamatkan dan membebaskan.
Agama, dan dengan demikian agamawan, tidak bisa tidak harus masuk ke dalam persoalan sosial yang terjadi dan menyumbang pada ketidakadilan. Agamawan mesti menjadi katalisator bagi perubahan yang membebaskan para korban.
“Jika agama tetap adem ayem dan tenang-tenang saja di hadapan praktik-praktik ketidakadilan, kekerasan, diskriminasi, kemiskinan, dan proses pembusukan masyarakat, berarti agama itu sedang menggali kubur untuk dirinya sendiri dan sama sekali tidak relevan untuk kehidupan. Semua agamawan sadar bahwa Allah itu politis…manusia perlu bersikap politis. Tegasnya, bersikap politis merupakan sakramen, yakni tanda dan sarana yang mengantar orang pada pembebasan dan penyelamatan” (Eddy Kristiyanto: 2008).
Dimensi kenabian dalam kata dan tindakan
Keberpihakan Uskup Budi Kleden di pihak para korban adalah suatu sikap tepat yang menempatkan Gereja di rel yang seharusnya. Gereja tidak (boleh) netral di hadapan kebathilan dan kesewenang-wenangan, tidak membisu di hadapan ketidakadilan, tidak keluh di hadapan kebobrokan moral politik. Di hadapan gejala sosial yang tidak menguntungkan si miskin, para pemimpin Gereja mesti menjadi alter Christus yang pro terhadap mereka yang paling membutuhkan.
Para imam diharapkan menjadi nabi—yang bersuara tentang masa datang sembari menyingkapkan kebobrokan hari ini—yang “membongkar penindasan terselubung atau mengeritik peraturan yang mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu” [Budi Kleden: 2025].
Seorang imam mesti membawa serta di dalam dirinya suara kritis dan tindakan kenabian. Melalui suara kritis seseorang dituntut untuk berani menantang status quo-isme yang melanggengkan ketidakadilan yang berdampak pada kehancuran tatanan masyarakat. Sementara itu, tindakan kenabian adalah suatu keberanian untuk mendemonstrasikan kuasa Allah di dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui sikap tegasnya yang menolak proyek panas bumi yang destruktif terhadap lingkungan dan manusia itu, Uskup Budi Kleden tidak saja telah menghadirkan suara kritis Gereja dan tindakan kenabian di hadapan kebathilan, tetapi serentak mengajak kita untuk turut serta merasakan penderitaan para korban dan tergerak hatinya untuk bangkit melawan dengan keberanian dan kreativitas sekaligus bertindak out of the box untuk mengambil inisiatif-inisiatif baru.
Hanya ada satu kata: lawan!
Penggalan puisi almarhum Widji Tukul ini barangkali tepat untuk menyimpulkan peristiwa getir yang dialami oleh masyarakat tertindas yang sumber hidup dan hak-haknya dirampas atas nama pembangunan. Lawan adalah hal terakhir yang bisa kita lakukan, bukan karena kita memilih untuk melakukannya, tetapi tidak ada lagi pilihan sama sekali.
Filsuf cum sastrawan Albert Camus melukiskan secara ringkas situasi perlawanan yang tidak bisa kita hindari, tetapi justru di dalamnya kita memantapkan diri sebagai manusia, sebagai penghuni bumi ini: “meski perang ini sangat keji, kita tidak boleh menempatkan diri di luarnya” (Setyo Wibowo: 2011). Untuk mempertahankan hidup, tidak ada pilihan lain selain terlibat aktif di dalam “perang” mempertahankan diri dan dunia tempat kita hidup.
Dalam konteks ini, perlawanan yang dimaksudkan adalah hubungan konfliktual antara masyarakat sebagai korban dengan negara dan korporasi. Resistensi (perlawanan) mencirikan dinamika hubungan antara negara, korporasi, dan komunitas lokal; perlawanan rakyat sendiri mengandung “kepercayaan” sosial bahwa kekuatan perubahan ada di tangan rakyat (Max Regus: 2011).
Dinamika segitiga negara-korporasi-rakyat sudah selalu menempatkan rakyat selaku pemilik aset sebagai korban yang tereksploitasi sementara dua pihak yang disebut pertama (negara dan korporasi) mendapatkan keuntungan. Di beberapa tempat, di Amerika Latin misalnya, koalisi negara-korporasi menggandeng agama (Gereja) dalam melanggengkan kekuasaan untuk menindas dan memasung rakyat.
Bayangkan situasi kaum tertindas ini: di dunia dijepit oleh kekuatan ekonomi dan moncong senapan, sementara kemungkinan masuk surga juga dihambat dari mimbar khotbah. Ini ironi memang, pemilik tanah ulayat tidak mendapatkan keuntungan ekonomis, sosial dan budaya yang menunjang keberlangsungan hidup mereka sementara korporasi menjadi begitu amat kaya dari upaya mengeruk alam milik masyarakat.
Max Regus (sekarang menjadi Uskup Keuskupan Labuan Bajo), dalam penelitiannya di wilayah tambang Manggarai, menemukan ada lima sebab utama yang menjadi motor perlawanan masyarakat terhadap negara dan korporasi.
Pertama, dominasi. Dominasi berhubungan dengan terciptanya kapasitas (kekuatan) yang melampaui elemen lain yang bisa berarti kekuatan dan implementasi tanpa kontrol. Perkawinan nyaris sempurna antara regulasi (penguasa) dan modal (pengusaha) menjadi kekuatan yang mendominasi masyarakat sebagai pemilik aset dan di hadapan kekuatan itu rakyat menjadi tidak berdaya. Dengan kekuatan tersebut, kekayaan sumber daya alam mengalir tanpa henti ke luar, ke kantong-kantong pemodal itu.
Kedua, marginalisasi. Dominasi dan marginalisasi itu searah-setujuan dalam rangka mengokohkan posisi negara dan korporasi. Masyarakat lokal dipaksa untuk menerima kehadiran korporasi melalui regulasi yang dibikin-bikin. Marginalisasi sendiri dimaksudkan untuk menciptakan relasi yang timpang antara negara, korporasi, dan masyarakat lokal dengan tujuan agar masyarakat lokal tidak mampu membangun kekuatan yang setara dengan kekuatan yang dimiliki negara dan korporasi.
Bentuk paling awal marginalisasi yang ditemukan oleh Max Regus adalah upaya negara dan korporasi dengan memutus dan menutup akses bagi masyarakat lokal ke dalam rangkaian informasi tentang tambang. Ketiadaan akses terhadap informasi membuat bisnis tambang jadi urusan eksklusif negara dan korporasi. Pemutusan akses informasi ini membuat masyarakat menjadi kaum tak bersuara (the voiceless).
Ketiga, degradasi ekologi. Salah satu isu penting yang belakangan disadari betul kerusakannya adalah soal krisis ekologi. Pembangunan dan ekologi ibarat dua sisi mata uang yang sama, tetapi dalam kenyataannya atas nama pembangunan segalanya menjadi boleh, termasuk merusak lingkungan.
Keempat, degradasi sosial-budaya. Berbicara mengenai masyarakat lokal atau masyarakat adat, maka dengan sendirinya berkelindan juga soal-soal seperti lingkungan alam sebagai locus sumber kehidupan dan juga aspek sosial budaya. Masyarakat lokal dalam mengelola alam untuk kehidupannya dibatasi oleh prinsip-prinsip etis yang terkandung di dalam kebudayaan lokal setempat.
Hubungan antarindividu di dalam kebudayaan dengan alam itu membentuk harmoni kosmik. Maka, tindakan menghancurkan salah satu aspek dari manusia, alam, dan budaya sama dengan menghancurkan tatanan masyarakat lokal. Dalam terang ini, tambang tidak saja merusak ekologi tempat manusia hidup dan membentuk kebudayaannya, tetapi sekaligus menghancurkan seluruh tatanan kosmik masyarakat lokal setempat.
Kelima, kemiskinan. Industri tambang itu erat hubungannya dengan akumulasi modal korporasi serentak pembesaran volume kemiskinan pada masyarakat lokal. Akumulasi modal dan kemiskinan itu adalah ironi pembangunan yang kapitalistik, lahir dari rahim yang sama tetapi tidak pernah satu ranjang dalam perkembangannya.
Ketika ada yang mengatakan bahwa tujuan pembangunan yang berwatak kapitalistik ini adalah sepenuh-penuhnya untuk kesejahteraan rakyat, bisa dipastikan bahwa dia sedang berbohong. Lebih mudah mempercayai seorang PSK yang mengatakan dirinya masih virgin ketimbang korporasi yang menyatakan bahwa ia berjuang untuk kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, berhadapan dengan dominasi dan marginalisasi dari kekuasaan dan korporasi yang menimbulkan degradasi ekologis, sosial, dan budaya, yang berujung pada semakin dalam jurang kemiskinan antara masyarakat lokal pemilik aset dengan pemodal, tidak ada yang bisa dilakukan selain melawan habis-habisan.
Sikap tegas Uskup Budi Kleden mesti dibaca dari sudut pandang ini. Gereja melalui gembalanya melakukan suatu “interupsi” dan “intervensi” terhadap dominasi penguasa-pengusaha yang menindas dan memasung masyarakat atas nama pembangunan.