Pemanasan Bumi dan Peralihan Energi
Makin lama menunda peralihan energi, makin besar biaya sosial, ekonomi, dan ekologis yang kelak harus dibayar.
Pemanasan global bukan lagi sebatas istilah teknis dalam laporan ilmiah para pakar, tapi sudah jadi bagian dari realitas hidup kita saat ini.
IPCC (Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim) mengonfirmasi hal itu. Badan ilmuwan bentukan PBB ini menyatakan dalam Laporan Sintesis 2023 bahwa suhu rata-rata bumi terus merangkak naik. Ini terjadi karena lapisan gas rumah kaca di atmosfer kian menebal dan menahan makin banyak energi panas.
Dalam kondisi normal, bumi menyerap sebagian panas matahari dan memantulkan sebagian lainnya dalam bentuk energi panas (radiasi inframerah) ke luar angkasa. Proses alami yang konstan ini membuat suhu permukaan bumi relatif stabil dan aman.
Namun, sejak masa pra-industri (1850–1900), jumlah gas rumah kaca, terutama karbon dioksida, metana, dan dinitrogen monoksida, mulai meningkat drastis di atmosfer. Sejak masa itu, lapisan gas rumah kaca yang mengelilingi bumi menebal dari waktu ke waktu.
Akibat penebalan ini, sebagian besar energi panas yang dipancarkan permukaan bumi tertahan di atmosfer, alih-alih terbuang ke luar angkasa. Makin tebal lapisan gas rumah kaca, makin banyak energi panas yang tertahan. Gas rumah kaca lalu memancarkan kembali energi panas ini ke permukaan bumi. Proses ini menyebabkan peningkatan suhu bumi.
Penebalan lapisan gas rumah kaca terjadi akibat aktivitas manusia. Hal ini ditegaskan lebih dari 97% ilmuwan iklim di dunia. Dan, dari semua aktivitas yang menyebabkan penebalan ini, pembakaran energi fosil (minyak, gas, batubara) menjadi penyebab utama. Pembakaran untuk keperluan industri, transportasi, rumah tangga, dan lain-lain itu menghasilkan karbon dioksida, penyumbang 50–60% dari total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan aktivitas manusia.
Dampak pemanasan global kini terjadi di banyak tempat: cuaca ekstrem yang kian sering, gelombang panas yang memicu kebakaran luas, banjir besar yang menghancurkan infrastruktur vital, kekeringan panjang yang menimbulkan krisis pangan, naiknya permukaan laut akibat mencairnya es di kutub, serta ancaman kepunahan bagi sejumlah spesies tumbuhan dan hewan. Berbagai dampak ini akan memburuk seiring meningkatnya suhu bumi.
Pemanasan global juga memperburuk ketimpangan sosial-ekonomi. Masyarakat dengan sumber daya terbatas menjadi kelompok yang paling rentan terhadap risiko bencana iklim, seperti kekeringan dan kenaikan permukaan air laut. Mereka dipaksa meninggalkan kampung halaman dan menjadi migran iklim. Fenomena eksodus iklim ini diperkirakan meningkat tajam di masa depan.
Untuk mengatasi pemanasan global, harus dilakukan pemangkasan drastis emisi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida yang menjadi kontributor utama. Oleh karena itu, perlu peralihan segera dari energi fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT) dan sumber energi bersih lainnya. Pajak karbon dan investasi masif di bidang EBT, seperti energi surya dan angin, merupakan strategi kunci untuk mempercepat peralihan energi.
Peralihan energi tentu bukan perkara mudah. Terdapat beragam hambatan, baik teknis, ekonomis, maupun politis - hambatan politis terutama datang dari negara produsen dan industri energi fosil yang berupaya melanggengkan status quo. Namun, komunitas ilmuwan mengingatkan bahwa makin lama kita menunda peralihan energi, makin besar biaya sosial, ekonomi, dan ekologis yang akan kita tanggung.
Karena itu, apapun hambatannya, peralihan energi secara agresif mesti diupayakan. Keberhasilan upaya ini sangat bergantung pada kebijakan pemerintah nasional yang tegas serta kerja sama internasional yang solid. Dibutuhkan sinergi dan komitmen bersama yang kuat untuk mengatasi ancaman berskala global ini.
Selain upaya global dan nasional, kontribusi individual juga tidak kalah penting. Langkah konkrit setiap individu, misalnya dengan menghemat pemakaian listrik atau menggunakan transportasi ramah lingkungan, tentu membantu mengurangi emisi karbon dan memperlambat laju pemanasan global.
Akhirnya, perang melawan pemanasan bumi membutuhkan aksi nyata, bukan sekadar gagasan atau rencana. Tanpa aksi nyata hari ini pada tingkat global, nasional, dan individual, kita akan mewariskan bumi yang panas dan sarat bencana, sebuah planet yang tak layak huni kepada generasi anak dan cucu.



