Peziarah Pengharapan: Stop Bermain Aman!
Orang yang berpengharapan berani mengambil risiko atas pilihan-pilihan yang sulit.
Paus Fransiskus merilis tahun 2025 sebagai tahun Yubileum dengan tema Peregrinantes in Spem (peziarah pengharapan). Pada prinsipnya, orang yang memiliki harapan, menurut Paus Fransiskus, adalah mereka yang senantiasa optimis terhadap masa depan, mereka yang “tidak bermain aman” pada pilihan-pilihan sulit yang menyangkut manusia dan hajat hidup orang banyak.
Selama masa kepausannya, Paus Fransiskus memperlihatkan korelasi yang kuat antara hidup dan pernyataannya: apa yang diucapkan, itu yang dijalaninya atau apa yang dihidupinya, itu yang diucapkannya. Salah satu yang paling menggema adalah kritik-kritiknya terhadap kerusakan ekologis yang disebabkan oleh keserakahan dan kesewenang-wenangan manusia.
Kritik atas kerusakan ekologis
Paus Fransiskus barangkali menjadi pemimpin agama yang paling getol bersuara tentang kerusakan ekologis serentak mengajak dunia untuk memalingkan wajah sejenak kepada ibu bumi yang sedang sekarat ini. Paus kelahiran Argentina ini membedakan antara alam dengan ciptaan; bahwa makna ciptaan lebih luas dari pada kata “alam” karena ada hubungannya dengan rencana kasih Allah kepada manusia (Martin Harun OFM: 2024).
“Alam biasanya dimengerti sebagai sistem yang dapat dipelajari, dipahami, dan dikelola, sedangkan ciptaan hanya dapat dipahami sebagai anugerah dari tangan terbuka Bapa kita semua sebagai kenyataan yang disinari kasih yang memanggil kita bersama-sama ke dalam suatu persekutuan universal” (Laudato Si’ 27).
Kesadaran kita sebagai bagian dari semesta ciptaan ini membuat kita semua terpanggil untuk bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang ada di hadapan kita. Maka, alam ciptaan pertama-tama tidak diperuntukan hanya bagi segelintir orang untuk kepentingan pribadi, tetapi dipahami sebagai “anugerah” Allah yang diperuntukan bagi kita semua tanpa kecuali.
Namun, keserakahan atas nama primat egoisme (Andre Atawolo OFM: 2024) membuat ciptaan terluka (wounded world) dan bumi menjadi begitu ringkih (vulnerable world) karena dieksploitasi secara membabi buta atas nama pembangunan dan kesejahteraan yang semu.
Paus Fransiskus melihat, ibu bumi yang terluka ini menempatkan manusia dalam suatu krisis ekologis. Krisis ekologis yang disebabkan oleh manusia ini pada gilirannya akan berbalik menyerang manusia. Ada banyak kisah tentang bencana alam yang disebabkan oleh keserakahan manusia. Krisis ekologis ini, menurut Paus Fransiskus, disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
Pertama, wajah ganda kemajuan teknologi. “Teknologi menempatkan kita di persimpangan jalan”: di satu sisi teknologi itu menakjubkan dan membantu manusia mengatasi aneka persoalan kehidupan, tetapi di lain pihak mengantar manusia ke ambang kehancuran.
Kedua, paradigma teknokratis yang menjadikan campur tangan manusia secara berlebihan dan membabi buta sedemikian rupa sehingga mengintervensi proses-proses alamiah atas nama kepentingan ekonomi yang mengutamakan kecepatan dan jumlah produksi.
Ketiga, modernitas yang menempatkan manusia sebagai pusat refleksi (antroposentrisme) pada gilirannya meminggirkan alam dan menjadikan alam sebagai objek untuk dieksploitasi. Hubungan antara manusia dengan alam tak lebih dari sekedar relasi subyek-obyek di mana yang terakhir hadir sejauh untuk dieksploitasi.
Kesemuanya ini tidak saja menjadikan alam ciptaan sebagai objek eksploitasi untuk kepentingan satu dua orang semata-mata, tetapi sekaligus menempatkan orang lain, terutama orang miskin, langsung pada kerugian yang paling besar. Paus Fransiskus secara tegas menyebut orang miskin menjadi korban yang utama dari ketimpangan global akibat keserakahan manusia ini. Kata Paus Fransiskus:
“Sesungguhnya kerusakan lingkungan dan kemerosotan masyarakat lebih memengaruhi mereka yang paling lemah di bumi: baik pengalaman hidup sehari-hari maupun penelitian ilmiah menunjukkan bahwa dampak terburuk dari semua serangan terhadap lingkungan diderita oleh kaum miskin. Sebagai contoh, menipisnya cadangan ikan terutama merugikan masyarakat nelayan kecil yang tanpa sarana untuk mengganti sumber daya tersebut;
Pencemaran air terutama berdampak pada orang-orang miskin yang tidak dapat membeli air minum kemasan, dan naiknya permukaan laut terutama berakibat bagi orang-orang pesisir miskin yang tidak punya tempat lain untuk pindah. Dampak ketidakseimbangan saat ini juga tampak dari kematian dini banyak orang miskin, dari konflik-konflik yang dipicu oleh kurangnya sumber daya, dan dari banyak masalah lain yang tidak mendapat cukup perhatian dalam agenda global” (LS 48).
Salah satu alasan mengapa orang miskin menjadi korban dari kebijakan yang timpang ini adalah karena akses mereka terhadap kebijakan dan sumber daya alam itu terbatas dan tidak diberi tempat dalam pertimbangan dan pengambilan keputusan yang penting menyangkut nasib dan hajat hidup mereka sendiri.
Dan, yang paling parah adalah masalah-masalah nyata yang mereka hadapi seringkali dianggap sebagai sekedar “lampiran, tambahan atau sampingan, jika tidak dianggap sebagai kerugian sampingan” (LS 49). Persoalan ekologis, kerusakan lingkungan akibat kesewenang-wenangan dan maraknya globalisasi ketidakpedulian satu pihak, menyebabkan kerugian sekaligus pada lingkungan itu sendiri dan orang miskin; kesenjangan sosial semakin menganga lebar tak terjembatani.
Oleh karena itu, Paus Fransiskus menawarkan agar kita semakin peka terhadap persoalan nyata ini dengan suatu “ekologi manusia” yang menekankan pada aspek relasional antara hidup manusia sendiri dengan hukum moral yang tertulis pada kodrat kita, hubungan yang diperlukan untuk dapat menciptakan lingkungan yang lebih bermartabat (LS 155).
Itu artinya hak asasi manusia yang melekat pada setiap individu tidak boleh dikurangi, tidak boleh dilanggar, tidak boleh dihina, tidak boleh dimanipulasi dengan segala macam kebijakan yang menghamba pada pemilik modal. Singkatnya, manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri dan dengan demikian tidak boleh dijadikan sebagai sarana untuk tujuan lain di luar dirinya sendiri.
Sikap hormat terhadap martabat manusia ini setali tiga uang dengan kesejahteraan umum (LS 156, 157, 158). Kesejahteraan umum menurut Paus Fransiskus adalah “keseluruhan kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri.”
Guru besar filsafat dan etika STF Driyarkara Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno merumuskan kesejahteraan sosial secara negatif dan positif yang menegaskan bahwa kesejahteraan seseorang bukanlah sesuatu yang ditentukan secara dogmatis atau ideologis ataupun secara pragmatis, melainkan terletak dalam perasaan individu yang bersangkutan.
Secara negatif manusia disebut sejahtera apabila ia bebas dari perasaan lapar dan dari kemiskinan, dari kecemasan akan hari esok, bebas dari perasaan takut, dari penindasan, apabila ia tidak merasa diperlakukan dengan tidak adil.
Secara positif manusia dapat disebut sejahtera apabila ia merasa aman, tenteram, selamat, apabila ia dapat hidup sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilainya sendiri, apabila ia merasa bebas untuk mewujudkan kehidupan individual dan sosialnya sesuai dengan aspirasi-aspirasi serta dengan kemungkinan-kemungkinan yang tersedia baginya. Apabila kemampuan dan kreativitasnya, meskipun terbatas, bisa dikembangkannya, apabila ia merasa tenang dan bebas.
Dalam terang ini, baik negara maupun pemilik modal, bukanlah penentu atau pihak yang berhak menentukan kapan seseorang sejahtera, tetapi dia sendiri yang berhak untuk menyatakan situasinya tersebut.
Saya kira ada banyak sekali kecemasan dan ketidaktenteraman, masih banyak sekali eksploitasi yang menimpa begitu banyak orang, ada begitu banyak perasaan tidak adil akibat dari eksploitasi struktur-struktur ekonomis yang semuanya itu menempatkan orang miskin pada posisi yang sama sekali tidak enak. Situasi manusia ini memanggil semua orang yang berkehendak baik untuk membangun solidaritas bersama dan pilihan untuk berjalan bersama dengan mereka yang tertindas.
Untuk bisa merasakan penderitaan yang ada di sekitar kita, kita tidak perlu belajar tinggi-tinggi, tidak perlu harus studi banding ke luar negeri, tetapi hanya—meminjam kata-kata Paus Fransiskus sendiri—perlu melihat realitas di sekitar kita untuk memahami bahwa pilihan ini sekarang menjadi tuntutan etis mendasar untuk mewujudkan kesejahteraan umum secara efektif.
Etika tanggung jawab untuk menjamin masa depan
Kerusakan ekologis merupakan sumbangan dari pemikiran modern yang melihat alam sebagai objek untuk dieksploitasi. Kemajuan teknologi di satu sisi dianggap sebagai keuntungan karena mempermudah kerja-kerja manusia, tetapi pada sisi yang lain justru membawa bencana bagi alam serentak bagi manusia yang menghuni alam.
Menurut filosof Hans Jonas, teknologi yang dikembangkan untuk menguasai alam tidak dapat lagi dikuasai oleh manusia dan dengan demikian melampaui kemampuan paham tangggung jawab etika tradisional yang hanya memperhatikan akibat tindakan manusia dalam situasi hic et nunc (Norbert Jegalus: 2021; Florido Atu & Loran Oke: 2025).
Ketidakmampuan manusia menguasai teknologi pada gilirannya akan mengantar dunia kita kepada situasi apokaliptik di mana penggunaan teknologi yang tadinya dianggap mempermudah kerja-kerja manusia justru mendatangkan malapetaka.
Menurut Jonas, manusia mesti dapat mengantisipasi segala kemungkinan buruk yang dapat membahayakan dirinya dan alam yang daripadanya ia hidup. Antisipasi itu mesti didasarkan pada suatu “heuristika ketakutan” yang memaksa manusia untuk membayangkan segala kemungkinan terburuk dari tindakannya mengeploitasi alam yang pada gilirannya mengancam eksistensinya dan alam itu sendiri. Dari ketakutan ini, muncul dua kewajiban yang menuntut kita untuk:
Pertama, mengimajinasi akibat-akibat jangka panjang dinamika peradaban teknologis saat ini. Misalnya, kita bayangkan saja kalau panas bumi (geotermal) di Sokoria atau Mataloko dieksploitasi secara masif dan meluas sedemikian sehingga pada suatu waktu nanti, tahun 2100 sebut saja begitu, dua wilayah itu hancur dan hilang dari peta Flores. Masyarakat desa terpaksa pindah dari kampung yang sudah dihuninya sejak leluhur di masa lampau dan dengan demikian terputuslah hubungan mereka dengan tanah adat, kebudayaan, dan sejarahnya.
Kedua, membangun perasaan yang sesuai dengan apa yang kita bayangkan itu untuk menjadi suatu tanggung jawab yang diwujudnyatakan dalam tindakan praktis. Maka, Jonas merumuskan maksim yang menjadi imperatif tanggung jawab:
“Bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat-akibat tindakanmu dapat diperdamaikan dengan kelestarian kehidupan manusia sejati di bumi, atau secara negatif: bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat-akibat tindakanmu tidak merusak kemungkinan-kemungkinan kehidupan manusiawi sejati mendatang, atau secara sederhana: jangan membahayakan kondisi-kondisi kelanjutan tanpa akhir umat manusia di bumi ini, atau lagi secara positif: masukkan dalam pilihanmu sekarang keutuhan manusia mendatang sebagai bagian dari tujuan kehendakmu" (Magnis-Suseno: 2006).
Rumusan imperatif tanggung jawab Jonas ini masuk akal karena kita tidak bisa tahu dengan pasti tentang apa yang bakal terjadi di masa depan, tetapi kita dapat mengantisipasi segala hal ikhwal yang membelum serentak selalu menjelang ini dengan tindakan yang terukur dan bertanggungjawab.
Imajinasi menjadi penting, terutama imajinasi tentang semua kemungkinan terburuk yang boleh jadi akan menghantam kita. Kecenderungan kuat dalam diri manusia modern untuk merusak alam sebetulnya sedang mengantar kita dengan cepat berada dalam situasi bunuh diri ekologis atau ecology suicide (Budi Widianarko: 2009) situasi di mana bumi menjadi tidak ramah untuk dihuni oleh kita saat ini dan generasi mendatang.
Menjadi peziarah pengharapan: Stop bermain aman!
Dalam homilinya pada misa malam Natal dan pembukaan Porta Sancta tahun Yubileum 2025, Paus Fransiskus menegaskan tentang makna pengharapan dalam hubungannya dengan multidimensi kehidupan manusia. Pengharapan bagi Paus Fransiskus bukan sebuah sikap pasif, diam, dan memilih untuk “bermain aman” di hadapan pilihan-pilihan sulit, tetapi suatu gerakan aktif untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang adil.
“Pengharapan adalah panggilan untuk tidak menunda, tertahan oleh kebiasaan lama kita, atau berkubang dalam keadaan biasa-biasa saja atau kemalasan. Pengharapan memanggil kita—sebagaimana dikatakan Santo Agustinus—untuk terganggu dengan hal-hal yang salah dan menemukan keberanian untuk mengubahnya. Pengharapan memanggil kita untuk menjadi peziarah yang mengupayakan kebenaran, pemimpi yang tidak pernah lelah, manusia yang terbuka untuk ditantang oleh impian Allah, yaitu sebuah dunia baru di mana kedamaian dan keadilan berkuasa.”
Tugas kita sebagai peziarah pengharapan di dunia ini, pertama-tama dan paling utama, menurut Paus Fransiskus, adalah keberanian untuk melawan ketidakadilan yang disebabkan oleh kesewenang-wenangan. Orang yang berpengharapan adalah mereka yang berani mengambil risiko-risiko atas pilihan-pilihan yang sulit.
Pengharapan bukan milik orang-orang hipokrit yang menggunakan logika teknokratis untuk membangun atas nama kesejahteraan rakyat tetapi pada saat yang sama justru menghancurkan sumber-sumber kehidupan masyarakat, menjarah dan merampok kekayaan alam milik masyarakat lokal, serta secara dingin mengorbankan orang-orang miskin untuk tujuan mengakumulasi modal.
“Pengharapan” kata Paus Fransiskus, “tidak sesuai dengan sikap acuh tak acuh orang-orang yang menolak untuk menentang kejahatan dan ketidakadilan yang dilakukan dengan mengorbankan orang miskin.” Kita mesti membunyikan lonceng perlawanan terhadap kerusakan ekologis mulai dari dalam diri kita masing-masing sedemikian hingga menjadi suatu gerakan bersama yang meluas.
Di Flores lonceng “perlawanan”, secara khusus di wilayah administratif Keuskupan Agung Ende, sudah dibunyikan oleh Uskup Budi Kleden, SVD. Lonceng ini memanggil segenap orang yang berkendak baik untuk turut berjuang bersama melawan sikap ugal-ugalan negara-korporasi yang meminggirkan hak masyarakat adat atas tanah ulayat mereka, akses mereka terhadap air bersih dan sumber-sumber makanan untuk kehidupan mereka.
Kita tidak sekedar dipanggil untuk melawan karena ada ketidakadilan saat ini saja, tetapi kita memikul tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan alam agar generasi mendatang tidak merasakan dampak negatif akibat keserakahan yang kita warisi. Ada tanggung jawab besar di pundak kita saat ini, bahwa kita berhutang budi bukan pada masa lalu, tetapi pada masa depan.
Kesadaran akan masa depan itu membuat kita dapat meminimalisir dan mencegah setiap kemungkinan terburuk dari tindakan kita. Hidup, seperti kata Camus, adalah menunda kematian. Maka, penundaan tersebut kita pakai sekurang-kurangnya, untuk memperbaiki dan mencegah agar ibu bumi kita ini tidak menderita terlalu sakit.
Filosofi peziarah adalah kesadaran bahwa kita yang hidup di dalam dunia ini adalah orang yang bertamu sebentar saja dan ketika tiba waktunya kita semua akan kembali ke tempat asal. Sikap yang tepat sebagai seorang peziarah adalah tahu diri. Jika hidup di dunia ini adalah bertamu, maka jelas dunia ini ada tuan rumahnya.
Siapa sang pemilik rumah itu? Pemilik rumah kita ini adalah generasi yang datang dari masa depan. Mereka belum tiba, tetapi akan tiba pada waktunya. Tanggung jawab kita adalah memastikan rumah mereka ini tidak rusak. Sumus exules, vivendi quam auditores (Kita semua adalah pengungsi, hidup hanyalah untuk mendengar).